Kepribadian Proaktif, Kecerdasan Emosi Dan Adversity Sebagai Variabel Yang Mempengaruhi Resistance To Change Karyawan Di Perusahaan
X
Ayu Dwi Nindyati[1]
Abstraksi
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan
untuk mengetahui variabel dari aspek personal yang mampu mempengaruhi resistance to change. Aspek-aspek
personal yang diukur dalam penelitian ini adalah kepribadian proaktif,
kecerdasan emosi dan adversity. Penelitian dilakukan pada perusahaan yang
memiliki tuntutan lingkungan tinggi, sehingga mengharuskan perusahaan untuk
memiliki irama perubahan kerja yang tinggi. Setelah dianalisis, dari tiga aspek
personal tersebut, variabel kepribadian proaktif tidak terbukti beperngaruh
dengan signifikan pada resistance to
change. Dua variabel lainnya yaitu kecerdasan emosi dan adversity,
mempengaruhi resistance to change. Pengaruh
yang diberikan dua aspek variabel tersebut adalah pengaruh negatif. Hal ini
menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dan adversity mampu mengurangi resistance to change yang dialami oleh karyawan.
Kata
kunci: resistance to change,
kepribadian proaktif, kecerdasan emosi, kecerdasan adversity.
Pendahuluan
Tuntutan
dari lingkungan membawa organisasi melakukan perubahan (Muchinsky, 2003).
Tuntutan-tuntutan tersebut seperti perkembangan teknologi, tekanan ekonomi, persaingan, trend sosial, dan politik (Robbins, 1998). Dengan kata lain, untuk
menjaga kelangsungannya organisasi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan
atau perubahan yang terjadi di lingkungan. Adanya perubahan dalam organisasi merupakan satu
tantangan tersendiri bagi para pelaku organisasi, baik pemimpin maupun bawahan.
Terutama bagi para pelaku
organisasi yang sudah merasakan adanya kenyamanan dan kemapanan dalam
menyelesaikan tugasnya. Termasuk kelompok para karyawan yang sudah menciptakan
rutinitas dalam menyelesaikan tugasnya. Adanya perubahan tidak jarang
mengakibatkan para pelaku organisasi merasakan kecemasan dan ketakutan akan terganggunya rutinitas dan rasa nyaman
yang sudah dimiliki. Dalam situasi ini individu cenderung memilih untuk tidak
mengikuti perubahan dan bertahan dengan cara-cara lama yang sudah biasa
dikerjakan. Situasi ini tentunya akan merugikan organisasi yang sedang
melaksanakan perubahan untuk menjawab tuntutan lingkungan
Kajian Teori dan Model Penelitian
Setiap
perubahan dalam organisasi berpengaruh pada karyawan (Rafferty & Griffin,
2006). Ketika
individu menghadapi perubahan dalam organisasi maka individu akan menunjukkan
reaksi tertentu (Bovey & Hede, dalam Janou Vos, 2006). Reaksi terhadap
perubahan dapat berupa suatu hal yang dirasakan sebagai beban (e.g., Coch &
French; Zander; Zaltman & Duncan; Tichy; dalam Oreg, 2003). Perubahan dapat
menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan individu untuk memprediksi dampak
dari perubahan. Pada akhirnya individu dapat mengalami rasa cemas dan perasaan
tidak mampu mengendalikan situasi (Muchinsky, 2003; Janou Vos, 2006). Perasaan
cemas dan tidak mampu mengendalikan situasi muncul karena adanya situasi yang tidak
jelas atau ambigu. Situasi ambigu ini dapat menyebabkan individu merasa tidak
mampu mengubah kebiasaannya, sehingga sikap bertahan terhadap perubahan
cenderung untuk muncul (Janou Vos, 2006).
Sikap bertahan terhadap
perubahan atau resistance to change (RTC)
merupakan kecenderungan individu untuk tidak mau berubah atau menghindari
perubahan (Oreg, 2003). Resistance to
change merupakan sikap negatif dari individu dan berpotensi menjadi
hambatan utama bagi perusahaan untuk melakukan perubahan (Muchinsky, 2003). Greenberg dan Baron (2002, dalam Janou
Vos, 2006) menjelaskan RTC sebagai perilaku yang diperlihatkan oleh individu
dengan tujuan untuk memperlambat atau menghentikan perubahan tersebut. Lines
(2004) menjelaskan RTC sebagai kecenderungan karyawan untuk menunjukkan
perilaku yang tidak menghendaki adanya perubahan. Pada dasarnya RTC ini tidak
berkaitan langsung dengan perubahannya, namun lebih pada adanya personal loss atau kemungkinan untuk
mengalami hal tersebut, hal ini dikarenakan bahwa setiap individu memiliki
keyakinan bahwa seseorang dapat menghadapi perubahan yang terjadi (McKenna,
2000).
Individu yang mengalami RTC
menunjukkan sikap tidak mau meninggalkan cara lama saat bekerja, tidak mau
belajar, melakukan kesalahan-kesalahan saat bekerja dan membuat gosip yang
tidak benar tentang perubahan (Greenberg & Baron; Bovey & Hede; dalam
Janou Vos, 2006). Sikap resisten yang timbul sebagai reaksi terhadap perubahan
memberikan dampak pada organisasi, seperti menurunnya komitmen organisasi,
meningkatnya jumlah keterlambatan dan ketidakhadiran individu (King &
Anderson, 2003). Sikap individu yang seperti ini dapat menghalangi proses
perubahan dan dapat meningkatkan kerugian organisasi (Metselaar; Del Val & Fuentes; dalam Janou
vos, 2006).
Mempertimbangkan hasil
penelitian yang menjelaskan dampak RTC pada berbagai aspek kerja karyawan, maka
dapat dipahami jika RTC merupakan fenomena yang layak untuk dikaji lebih
mendalam. Respon yang dimunculkan setiap individu terhadap perubahan
berbeda-beda. Aspek-aspek personal yang dapat membedakan reaksi individu
terhadap perubahan diantaranya adalah aspek kepribadian, seperti yang
dijelaskan Armenakis, dkk dan Vakola,
dkk (dalam Janou Vos, 2006) menjelaskan bahwa aspek kepribadian individu mampu
mempengaruhi perbedaan respon terhadap perubahan. Kepribadian menentukan
bagaimana individu bertindak atau berperilaku. Baron dan Greenberg (dalam Janou
Vos, 2006) menjelaskan bahwa kepribadian adalah sifat dan karakteristik yang
membuat keunikan pada individu. Dengan keunikan tersebut, individu dapat
berbeda-beda dalam menilai dan bereaksi terhadap perubahan (Lazarus; Armenakis
et al.; Vakola et al.; Metselaar &
Cozijnsen; dalam Janou Vos, 2006).
Bateman
dan Crant (1993) mengemukakan konsep tentang kepribadian proaktif yaitu kecenderungan individu dalam mengambil
tindakan untuk mempengaruhi lingkungan. Bandura (dalam Bateman & Crant,
1993) menyatakan bahwa individu dan lingkungan saling mempengaruhi satu sama
lain. Pengaruh yang ditunjukkan setiap individu berbeda-beda. Perbedaan
individu ini yang menunjukkan karakteristik kepribadian proaktif (Bateman & Crant, 1993). Bateman dan
Crant (1993) menambahkan individu proaktif merupakan
individu yang tidak terhambat dengan perubahan dari lingkungan dan tidak merasa
dipaksa oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Lebih lanjut Crant (dalam Major,
Turner, & Fletcher, 2006) menjelaskan bahwa individu proaktif mampu
mengidentifikasi dan memanfaatkan kesempatan, menunjukkan inisiatif, tekun
dalam usahanya hingga individu memahami maksud dari terjadinya perubahan, dan
mampu memanfaatkan semua sumber yang tersedia.
Individu
proaktif sangat dibutuhkan oleh organisasi-organisasi yang peduli terhadap
pencapaian efektivitas tujuan organisasi tersebut. Organisasi membutuhkan
individu dengan karakteristik tersebut, yang dapat mencari jalan keluar dalam
menyelesaikan tugasnya dan yang dapat bekerja secara proaktif dengan mengambil
inisiatif dan belajar secara aktif (Frese
et al.; Crant; Parker; dalam Sonnentag, 2003). Dalam setiap penelitian
yang dilakukan, ditemukan bahwa individu dengan tingkat kepribadian proaktif
yang tinggi memiliki penampilan kerja yang lebih baik dan hasil kerja yang
positif (Chan, 2006).
Keberhasilan individu sebagai pelaku
organisasi dalam merespon tuntutan lingkungannya tidak hanya terkait dengan
adanya karyawan-karyawan yang memiliki kepribadian yang proaktif. Aspek personal
lain yang tidak dapat dilepaskan dari bagaimana individu merespon lingkungan
dan situasi adalah kecerdasan emosi. Dengan kecerdasan emosi individu dapat
mengelola respon emosi yang akan dimunculkan berkaitan dengan tuntutan
lingkungannya.
Kecerdasan emosi pada awalnya diformulasikan oleh John Meyer
dan Peter Salvoes pada tahun 1990. Definisi yang diberikan oleh Meyer dan
Salvoes tentang kecerdasan emosi adalah kemampuan menerima dan mengekspresikan
emosi yang dirasakan, memahami emosi secara kognitif, mengerti dan mengetahui
penyebab emosinya serta mampu mengatur atau mencocokkan emosinya dengan situasi
yang tidak menyenangkan (dalam Passer dan Smith, 2007; Weiten dan Lloyd, 2006).
Definisi lain dari kecerdasan emosi menurut Goleman (1999) adalah kemampuan
untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi
rintangan, mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas. Individu
mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak menggangu
kemampuan berpikir. Selain hal-hal tersebut individu juga mampu berempati,
membina hubungan yang baik dengan orang lain dan mudah mengenali emosi pada
orang penuh perhatian. Pada definisi ini, Goleman menekankan pada lima area
kecerdasan emosi yaitu mengenali emosi
diri, dapat mengontrol emosi, dapat memotivasi diri, mengenali emosi orang lain
dan dapat berhubungan dengan orang lain.
Individu yang
memiliki kecerdasan emosi tinggi mempunyai kesadaran diri untuk lebih mengenali
emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya, tidak larut dalam situasi
yang tidak menyenangkan. Individu mempunyai kejernihan dalam berpikir, mampu
lebih mengendalikan diri dan dapat melindungi dirnya dari pengaruh stress yang
datang, sehingga mengetahui tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi
permasalahannya (Mayer dalam Goleman 1999; Taylor,2001; Salvoes & Pizarro,
2003). Sebaliknya, individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan
bereaksi terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak sehat.
Individu tersebut akan cenderung larut dalam permasalahan dan tidak dapat
melihat permasalahan dengan jernih, sehingga sulit mencari solusi masalahnya. Bila
situasi ini berkelanjutan, dapat menyebabkan gangguan fisik maupun mental individu
tersebut (Taylor, 2001).
Penelitian
terkait dengan kecerdasan emosi yang dilakukan oleh Lewin ( dalam Hall &
Gardner, 1993) menjelaskan bahwa untuk berprilaku, dalam hal ini dapat
dijelaskan sebagai kinerja, individu membutuhkan kepribadian dan lingkungan
Sementara itu penelitian yang dilakukan Mayer (dalam Ciarochi, Forgas dan
Mayer, 2001) menjelaskan bahwa
kecerdasan emosi mampu memprediksikan kinerja yang bagus bagi karyawan.
Dari dua penelitian terakhir dijelaskan bahwa keceredasan emosi dapat mempengaruhi
kinerja karyawan sebagai salah satu perilaku produktif karyawan yang menunjang
tercapainya tujuan organisasi.
Aspek lingkung
terbukti tidak dapat dilepaskan dari perilaku seseorang. Interaksi antara
lingkungan dan seseorang akan mampu membentuk suatu reaksi personal yang khas
dalam diri seseorang. Termasuk pada saat seseorang mengalami kesulitan atau
tantangan. Perubahan yang terjadi dalam ruang lingkup organisasi maupun
tuntutan pekerjaan, bagi beberapa orang dapat dianggap sebagai hambatan. Reaksi
setiap orang berbeda dalam menghadapi perubahan tersebut. Berdasarkan fenomena RTC pada bagian sebelumnya dan dampak
yang ditimbulkan RTC terhadap perilaku karyawan, maka organisasi membutuhkan
individu yang tangguh (hardiness)
dalam menghadapi perubahan. Sikap tangguh muncul dalam perilaku yang tidak
mudah menyerah terhadap situasi, tidak menarik diri dari situasi, dan bisa
mengendalikan situasi (Kobasa, (Averbach & Gramling, 1998); Maddi &
Khoshaba, 2005). Individu yang tangguh melihat perubahan sebagai hal yang
normal dan menilainya dengan cara yang positif. Individu dengan karakteristik
tersebut dapat digolongkan pada kelompok individu yang memiliki kecerdasan adversity (Stoltz, 2000; Maddi (dalam
Johnson, 2005). Stoltz (2000) menjelaskan kecerdasan adversity dapat memberikan pandangan bahwa kesulitan (dalam hal ini
perubahan organisasi) bisa diubah menjadi suatu peluang.
Menurut Seligman (dalam
Stoltz, 2000), individu yang memiliki kecerdasan adversity tinggi dan kecerdasan adversity
rendah memiliki perbedaan perilaku ketika berhadapan dengan kesulitan. Perbedaan
respon terhadap kesulitan dijelaskan oleh Seligman sebagai pesimis dan optimis.
Individu dengan kecerdasan adversity
rendah atau individu pesimis akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang
sifatnya tetap, internal, dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan
lain. Sebaliknya, individu dengan kecerdasan adversity tinggi atau individu optimis akan menanggapi kesulitan
sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas atau tidak memberikan dampak kepada bagian
kehidupan individu yang lain.
Dalam beberapa penelitian
tentang kecerdasan adversity,
mengindikasikan bahwa individu yang bertahan lama di dalam organisasi adalah
individu-individu yang memiliki tanggung jawab dan melihat peristiwa negatif
atau kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara (Zahra & Neubaum
(dalam Markman, 200?); Stoltz, 2000). Kecerdasan adversity juga berhubungan secara positif dengan kinerja individu
(Suherman, 2002; Stoltz, 2003; Sutedja, 2003; Kusuma, 2004; Johnson, 2005),
kesuksesan (Markman, 200?; Stoltz, 2003; Maxwell (dalam Kusuma, 2004)), dan
komitmen terhadap masa transformasi dari organisasi atau perubahan (Langvardt,
2007).
Berdasarkan uraian diatas,
didapatkan pemahaman bahwa RTC merupakan respon individu yang bersifat negatif
terhadap perubahan organisasi. Respon RTC memiliki dampak yang tidak hanya
merugikan individu, tapi juga pada kelompok dan organisasi. Adanya RTC pada
karyawan mengakibatkan proses perubahan menjadi terhambat dan kemajuan yang
diharapkan oleh organisasi tidak dapat tercapai. Dengan demikian, organisasi
membutuhkan individu-individu yang mau menerima perubahan, mampu menghadapi
perubahan dan mengatasinya dengan sukses atau individu-individu yang memiliki
kecerdasan adversity tinggi (Stoltz,
2000). Dengan penjelasan ini, kecerdasan
adversity layak dipertimbangkan sebagai satu aspek penting dalam menjelaskan RTC. Tingkat kecerdasan adversity yang berbeda pada individu
dalam organisasi diduga dapat menimbulkan munculnya reaksi yang berbeda
terhadap perubahan organisasi.
Uraian tiga aspek personal yang berkembang
dalam individu memberikan informasi keterkaitan tiga aspek tersebut dengan RTC
secara konseptual. Individu dengan karakteristik kepribadian proaktif dapat
mendukung proses pelaksanaan organisasi, sebaliknya karakteristik RTC
menunjukkan aspek-aspek yang dapat menghambat perubahan dan merugikan
organisasi. Dengan kata lain, dengan adanya kepribadian proaktif diduga dapat
mengurangi RTC yang dapat merugikan organisasi. Sebaliknya, individu RTC
cenderung kurang memiliki kepribadian proaktif. Dengan melihat keterkaitan
tersebut peneliti menduga kepribadian proaktif dan RTC memiliki korelasi yang
negatif. Pentingnya kecerdasan emosi dalam pencapaian kinerja karyawan maka
dapat dianalogikan, bagaimana kecerdasan emosi dapat berpengaruh terhadap RTC. Kecerdasan
emosi memberikan gambaran sebagai individu yang mampu memberikan respon dengan
dilandasi oleh adanya pemahaman atas stimulusnya secara proporsional. Individu
dengan kecerdasan emosi tinggi pada umumnya mampu menunjukkan adanya penerimaan
atas tuntutan dari lingkungan. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi
seharusnya tidak memiliki kecemasan terhadap situasi yang tidak diharapkannya
seperti perubahan dalam organisasi yang menuntutnya untuk merubah cara kerja.
Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa individu yang memiliki kecerdasan
emosi tinggi adalah individu yang mampu mengendalikan emosinya. Individu
tersebut tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan sehingga individu
tersebut tidak akan memiliki RTC tinggi. Selain kepribadian proaktif dan
kecerdasan emosi, maka dalam kecerdasan adversity
pun memberika dinamika yang sama bahwa kecerdasan adversity mampu mempengaruhi
RTC. Individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity rendah akan cenderung mengalami RTC dibandingkan individu
dengan tingkat kecerdasan adversity
tinggi. Berdasarkan uraian dinamika
tiga aspek personal tersebut terhadap RTC, maka dapat dirumuskan hipotesis
berikut.
Hipotesis: Kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan
kecerdasan adversity berpengaruh negatif
terhadap RTC
Metode Penelitian
Penelitian ini
menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian non eksperimen.
Penelitian ini dilakukan dalam seting alamiah tanpa memberikan perlakuan
tertentu pada subyek penelitian untuk mendapatkan gambaran setiap variabel
penelitiannya (Creswell, 2005). Organisasi
yang digunakan pada penelitian ini adalah stasiun televisi. Hal ini sesuai
dengan variabel yang digunakan, bahwa dalam perusahaan televisi dituntut adanya
aktifitas yang memerlukan inisiatif, kreatifitas, invatif dan dapat memenuhi
setiap tuntutan perubahan yang terjadi. Variasi tuntutan perubahan yang
mendesak individu dalam dunia pertelevisian untuk tetap mengembangkan perilaku
yang inovatif. Memperhatikan hal
tersebut, maka pada penelitian ini akan digunakan karyawan dari stasiun
televisi yang sedang atau telah mengalami peurbahan mendasar.
Penelitian ini dengan
pendekatan kuantitatif. Pemilihan sampel harus memenuhi asas representative,
salah satunya adalah dengan menggunakan teknik sampling tertentu untuk
mendapatkan sampel. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling simple non random sampling (Creswell,
2005). Yaitu teknik pengambilan sampel secara sederhana dengan tidak memberikan
peluang yang sama bagi anggota populasi untuk menjadi sampel. Dalam penelitian
ini sampel yang digunakan adalah karyawan yang telah ditentukan oleh
perusahaan. Penelitian ini menggunakan subyek penelitian karyawan salah satu
stasiun televisi swasta di Jakarta sejumlah 152 orang.
Resistance to Change
merupakan satu fenomena sebagai hasil dari proses perubahan, dengan melakukan
hal-hal yang dapat mengurangi, memperlambat atau bahkan mendukung adanya
perubahan tersebut. Pada penelitian ini RTC dimaksudkan sebagai skor individu
sebagai sampel penelitian setelah diukur dengan kuesioner yang dikembangkan
oleh Oreg (2003). Alat ukur ini diperoleh dari Resistance to Change Scale (RTCS). Resistance to change scale didisain dengan tujuan mengukur kecenderungan individu
untuk bertahan terhadap perubahan, yang meliputi dimensi perilaku, kognitif,
dan afektif. Terdapat enam sumber yang
diidentifikasi dari RTCS yaitu, reluctance to lose control, cognitive rigidity, lack of psychological resilience, intolerance to adjustment
period involved in change, preference for low levels of stimulation and
novelty, dan reluctance to give up old habits. Dari keenam sumber tersebut,
dibentuk menjadi empat faktor yang digunakan dalam alat ukur RTCS yaitu, routine seeking, emotional reaction,
short-term focus, dan cognitive
rigidity. Alat ukur RTC ini menggunakan penskalaan model Likert.
Variabel kepribadian proaktif
dijelaskan sebagai kekhasan dalam diri individu yang tidak mengalami hambatan
dari lingkungan dan tidak mudah terpengaruh perubahan lingkungan. Untuk
mengetahui hal ini, maka digunakan skor yang mencerminkan kepribadian proaktif
yang dihasilkan oleh kuesioner yang
dikembangkan oleh Crant dan Bateman (1993). Alat ukur
kepribadian proaktif yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh
Bateman dan Crant (1993), yaitu Proactive
Personality Scale (PPS). Alat ukur ini dibentuk menggunakan pendekatan
skala unidimensional dengan faktor tunggal yaitu proaktif. Alat ukur terdiri dari 17
butir pernyataanyang menggunakan skala
likert. Setiap pernyataan
yang diajukan kepada responden memiliki lima kategori jawaban, yaitu “sangat
tidak setuju” (STS), “tidak setuju” (TS), “netral” (N), “setuju” (S), dan
“sangat setuju” (SS). Jarak antar kategori jawaban tersebut berskala interval
dari 1 sampai 5 (Azwar, 2000; 2004).
Kecerdasan emosi merupakan
kemampuan individu untuk menggunakan emosinya secara cerdas, dimana individu
dapat mengatur dan mengelola emosi yang datang sehingga dapat memberikan
keuntungan bagi dirinya dan dalam hubungannya dengan orang lain. Variabel ini
akan tercermin pada skor individu yang diperoleh dari kuesioner kecerdasan
emosi yang dikembangkan oleh Darmasuka (2005) berdasarkan teori Goleman (1995).
Alat ukur kecerdasan emosi pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang sudah
digunakan oleh Dharmasoeka (2005) pada penelitian sebelumnya. Alat ukur
ini berjumlah 33 pernyataan yang dibuat berdasarkan lima dimensi kecerdasan emosi dari Goleman
(1999), yaitu : kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan
ketrampilan sosial. Alat ukur ini menggunakan skala likert. Penentuan nilai
skala berdasarkan distribusi respon pernyataan sikap. Sifat pernyataan dalam
alat ukur ini dibagi menjadi dua, yaitu pernyataan favorable (yang bersifat mendukung atau memihak kepada objek yang
diukur) dan pernyataan unfavorable
(yang bersifat tidak mendukung kepada objek yang diukur (Azwar, 2000). Contoh
item pada setiap variabel penelitian dapat dilihat pada table 1 berikut ini.
Kecerdasan adversity memberikan
pemahaman tentang bagaimana individu mampu bertahan menghadapi dan mengatasi
kesulitan, meramalkan individu mana yang mampu mencapai prestasi dari
kinerjanya dan individu mana yang akan gagal. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan
peneliti berdasarkan konsep yang dikemukan oleh Stolzt (2000). Alat ukur untuk
kecerdasan adversity akan disusun
berdasarkan konsep teori kecerdasan adversity
yang dikembangkan oleh Stoltz (2000). Kecerdasan adversity akan diungkap melalui alat ukur berbentuk self-rating questionnaire. Dengan alat
ukur kecerdasan adversity akan
diketahui skor dan gambaran dari adversity
quotient (AQ) individu, berikut dimensi-dimensi kecerdasan adversity meliputi control, ownership, reach, dan endurance.
Alat ukur kecerdasan adversity
berjumlah 20 pernyataan, yang tersusun berdasarkan lima kondisi. Setiap kondisi masing-masing
terdiri dari 4 buah pernyataan. Pernyataan dari baris paling atas merupakan kondisi kesulitan yang dihadapi
individu dpernyataanpat kerja, sedangkan 4 pernyataan di bawahnya merupakan
representasi untuk mengukur tiap dimensi kecerdasaan adversity secara
berurutan yaitu control (C), ownership (O), reach (R), dan endurance
(E). Peristiwa kesulitan dpernyataanpat kerja didapatkan dari Kay (1974),
Kearns (1973) dan Sofer (1970) (dalam McKenna, 2000), yaitu time pressures and deadlines to meet, work relationships, endeavouring to cope with
changes that affect the job, career development, dan a perceived mismatch between performance on the job and the financial
benefits secured. Keduapuluh pernyataan di dalam kuesioner merupakan pernyataan
yang menggambarkan situasi atau peristiwa yang menempatkan individu dalam
kesulitan. Responden diharapkan dapat
membayangkan sedang berada di dalam situasi tersebut dan kemudian memberikan
jawaban yang paling menggambarkan responnya terhadap situasi sulit tersebut
dalam rentang skala 1 sampai 5 menggunakan skala Likert, yaitu:
a. Control: Saya akan mampu mengendalikan peristiwa
tersebut
Skala 1 berarti tidak sama sekali dan
skala 5 berarti sangat mampu
b.
Ownership:
Saya memiliki kemungkinan untuk menghadapi peristiwa tersebut
Skala 1
berarti sangat tidak mungkin dan skala 5 berarti sangat mungkin
c. Reach: Kondisi tersebut dapat mengganggu
keseluruhan aktifitas kerja saya
Skala 1 berarti memberikan pengaruh buruk
pada seluruh aktifitas dan skala 5 berarti tidak satu pun aktifitas saya yang
terganggu
d.
Endurance:
Kondisi ini akan mempengaruhi aktifitas kerja saya dalam waktu..
Skala 1 berarti sangat lama dan skala 5
berarti sangat singkat
Setelah responden melengkapi
keduapuluh pernyataan dalam kuesioner, kemudian setiap pernyataan dijumlahkan
untuk membuat skor tunggal dari kecerdasan adversity
(AQ). Penjumlahan dari masing-masing dimensi (CORE) juga akan menghasilkan skor
tunggal untuk masing-masing dimensi. Setiap
skor, baik AQ maupun CORE akan menggambarkan kondisi individu berdasarkan
rentangan kecerdasan adversity, yaitu
rendah, sedang, dan tinggi. Untuk selanjutnya profil individu dapat diketahui
secara lebih mendalam dengan menggambarkan grafik untuk dimensi CORE, sehingga
dapat diketahui keterpaduan dan hubungan dari satu dimensi ke dimensi lainnya
atau dapat diketahui dimensi mana yang paling dominan. Secara umum penafsiran
dari jumlah skor yang tinggi digambarkan sebagai individu yang memiliki
kecerdasan adversity tinggi, dan
begitu juga sebaliknya.
Pada tabel 1 berikut ini dapat
dilihat contoh-contoh pernyataan pada setiap variabel penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini.
Tabel 1. Contoh item untuk variabel RTC, kecedasan
emosi dan perilaku inovatif
Variabel Penelitian
|
Item/pernyataan
|
RTC scale
Routine
seeking
Emotional reaction
Short-term
focus
Cognitive
rigidity
Proactive
personality scale (PPS)
Proaktif
Kecerdasan Emosi
Kesadaran diri
Pengaturan diri
Motivasi diri
Empati
Ketrampilan sosial
Kecerdasan
Adversity
Control
Ownership
Reach
Endurance
|
Perubahan di
tempat kerja adalah situasi yang tidak menyenangkan
Perubahan di tempat kerja yang tiba-tiba membuat saya
stres
Saya bermasalah dengan rencana perubahan
Setelah menemukan cara penyelesaian masalah, saya tidak
akan merubah pemikiran saya
Saya menemukan cara untuk meningkatkan kualitas hidup
Saya mengerjakan tugas dengan baik meski sedang marah
Saya tetap tenang disaat berada dalam situasi yang
tidak menyenangkan
Saya mencoba mencari penyebab kegagalan saya
Saya dapat merasakan kekecewaan rekan kerja
Saya mudah menyesuaikan diri dalam lingkungan baru
Saya akan mampu mengendalikan peristiwa tersebut
Saya memiliki kemungkinan untuk menghadapi peristiwa
tersebut
Kondisi tersebut dapat mengganggu keseluruhan aktifitas
kerja saya
Kondisi ini akan mempengaruhi aktifitas kerja saya
dalam waktu
|
Hasil uji reliabilitas dengan alpha cronbach menunjukkan hasil
koefisien α alat ukur RTC 0,809; kepribadian proaktif 0,788; kecerdasan
emosi 0,810 dan kecerdasan adversity
sebesar 0,915. Berdasarkan Kaplan dan Sakuzo (2005), maka alat ukur yang
digunakan pada penelitian ini memiliki reliabilitas bagus. Kaplan dan Sakuzo
mensyaratkan minimal koefisien α sebesar .70 cukup memadai untuk
penelitian.
Uji Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini,
diuji dengan menggunakan teknik statistik multiregresi. Hal ini dikarenakan ada
tiga variabel bebas (independent) dan
satu variabel terikat (dependent).
Analisis data dikerjakan dengan menggunakan SPSS for Windows Seri 14. Tabel 2
berikut ini akan menjelaskan informasi deskriptif data penelitian sebelum
dilakukan analisis multi regresi.
Tabel 2. Rata-rata, Standard Deviasi dan Interkorelasi Antar Variabel
Penelitian, N= 152
Variabel Penelitian
|
M
|
SD
|
1
|
2
|
3
|
1. Resistance to Change
2. Kecerdasan
Adversity
3.
Kecerdasan
Emosi
4.
Kepribadian
Proaktif
|
30.10
72.36
91.10
56.09
|
6.59
11.29
7.99
6.23
|
-.354**
-.407**
-.234**
|
.434**
.153
*
|
.419**
|
** p = 0.000
* p < 0.01
Dari tabel 2
tersebut, dapat dilihat informasi bahwa korelasi yang terjadi antara
kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan adversity dengan RTC terlihat
signifikan dan negatif. Hal ini
mejelaskan bahwa seseorang yang kepribadiak proaktif, kecerdasan emosi dan
kecerdasan adversity semakin bagus atau tinggi maka RTC akan semakin kurang.
Hasil analisis multi regresi
menjelaskan apakah hipotesis yang diajukan apakah dapat diterima atau ditolak.
Hasil analisis multi regresi dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Ringkasan analisis multiregresi
kperibadian proaktif, kecerdasan emosi dan kecerdasan adversity terhadap resistance
to change (N = 152)
Criterion
|
Predictor
|
β
|
t
|
R2
|
Resistance to change
|
Kepribadian proaktif
Kecerdasan emosi
Kecerdasan adversity
|
-0,085
-0,275
-0,221
|
-1,062
-3,113*
-2,729*
|
0,459**
|
** p = 0.000
* p < 0.01
Berdasarkan
Tabel 3, dapat diperoleh informasi bahwa hipotesis yang diajukan dapat
diterima, dengan demikian kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan adversity berpengaruh pada RTC, dengan R2 = 0,459, p = 0,000. Dari
tiga variabel bebas yang diajukan, menunjukkan adanya pengaruh negative dari
setiap variabel bebas terhadap RTC. Berdasarkan sumbangan dari setiap variabel
bebas terhadap munculnya RTC, ternyata ada satu variabel yang tidak bepengaruh
terhadap RTC, yaitu variabel kepribadian proaktif, dengan β = - 0,085, p > 0.05 (p = 0,290). Dua variabel lainnya yaitu
kecerdasan emosi dan adversity menjelaskan
adanya pengaruh negative terhadap RTC secara signifikan. Dengan β
kecerdasan emosi sebesar -0,275, dengan p < 0,01 (p = 0,002); β kecerdasan
adversity sebesar – 0,221, dengan p
< 0,01 (p = 0,007).
Pembahasan (Diskusi)
Berdasarkan
hasil analisis tersebut dapat dijelaskan mengapa kepribadian proaktif tidak
signifikan memberikan sumbangan secara mandiri terhadap RTC, padahal dalam
hasil korelasi, kepribadian proaktif dapat berkorelasi dengan RTC. Seperti yang
dijelaskan oleh Krueger, Schmutte,
Caspi, Moffitt, Campbell, dan Silva
(1994) menjelaskan bahwa, kepribadian dapat bermanfaat sebagai IV, namun
lemah sebagai variabel explanatory.
Alasan aspek kepribadian lemah
sebagai variabel explanatory karena
adanya mekanisme operasionalisasi definisi kepribadian yang kurang spesifik.
Terkait dengan kepribadian proaktif yang kurang mampu menjelaskan RTC atau
kurang mampu mengurangi RTC (karena nilai β adalah negative)
karena kurang teroperasionalisasikan dengan jelas. Pada bagian pengukuran
dijelaskan bahwa kepribadian proaktif yang dikembangkan oleh Crant dan Bateman
(1993) merupakan Proactive
Personality Scale (PPS) yang menggunakan pendekatan skala unidimensional
dengan faktor tunggal yaitu proaktif. Dengan faktor tunggal ini, diduga kurang
luas dalam mewakili perilaku proaktif yang mencerminkan kepribadian proaktif
individu. Selain itu kurang mampunya kepribadian proaktif sebagai variabel explanatory terlihat pada hasil analisis
pada penelitian ini yang menyebutkan bahwa dalam analisis korelasional
(kepribadian sebagai variabel independen) menunjukkan bahwa kepribadian
proaktif terbukti dengan signifikan berkorelasi negatif dengan RTC. Hal
tersebut menguatkan penelitian sebelumnya bahwa kepribadian kurang kuat untuk
menjadi variabel explanatory bila
berdiri sendiri. Dengan kata lain, keberadaan kepribadian proaktif akan lebih
bermakna dalam menjelaskan RTC bila berada dengan variabel lain. kepribadian
proaktif membutuhkan variabel lain sebagai mediator dalam meningkatkan perannya
pada RTC.
Hasil penelitian ini juga
menginformasikan bahwa kecerdasan emosi dan adversity terbukti berpengaruhi
negatif secara signifikan. Hal ini berarti baik kecerdasan emosi maupun
adversity mampu mengurangi peluang terjadinya RTC pada seseorang. Peningkatan
kualitas kecerdasan emosi danadversity akan mampu menghambat peningkatan RTC
bahkan mampu menurunkan RTC yang dialami seorang karyawan. Terkait dengan
kecerdasan emosi dalam diri seseorang, maka jika seseorang memiliki kualitas
kecerdasan emosi yang baik, yang bersangkutan mampu mengelola kondisi emosinya
agar tidak mudah terpengaruh situasi yang kurang menyenangkan. Dengan kondisi
ini, maka jika terjadi perubahan dalam organisasi atau tuntutan pekerjaan,
orang tersebut akan mampu memberikan respon pada perubahan tersebut dengan
proporsional, sehingga meminimalkan munculnya RTC.
Kecerdasan adversity yang
dimiliki seseorang akan membantunya menjaga staminanya dalam menghadapi
hambatan, bahkan mampu merubah hambatan
itu menjadi tantangan. Secara ringkas, seseorang yang memiliki kecerdasan
adversity mampu mengembangkan perilaku yang tetap optimal dan tidak mudah
menyerah jika menghadapi situasi yang dipersepsikan tidak menyenangkan. Pada
saat berhadapan dengan perubahan organisasi yang dianggap sebagian karyawan
lain sebagai stimulus yang menyulitkan, maka seeorang yang memiliki kecerdasan
adversity yang bagus akan mampu bertahan dan tidak memberikan respon yang
negtif seperti RTC.
Dalam penelitian ini terdapat
kelemahan yaitu pengambilan data tidak dilakukan pada responden yang dipilih
secara random, namun responden yang dpilihkan oleh perusahaan tempat
penelitian. Hal ini menyebabkan berkurangnya representasi responden dari
populasinya. Apalagi dalam perusahaan ini terdiri dari berbagai divisi atau
bidang. Dengan kondisi tersebut idealnya jumlah responden pada setiap divisi
diambil secara proporsional, sehingga teknik sampling yang digunakan seharusnya
adalah proporsional cluster sampling.
Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis data dan pembahasan yang
dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa kecerdasan
emosi dan adversity dapat mengurangi munculnya RTC, namun kepribadian proaktif kurang mampu mempengaruhi keberadaan
RTC. Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka dapat diberikan saran-saran sebagai
berikut:
1.
Untuk perusahaan agar lebih:
a.
Memperhatikan aspek kecerdasan emosi dan adversity karyawan
sebagai variabel yang harus dipertimbangkan untuk merekrut karyawan, karena
aspek ini terbukti merupakan aspek yang dapat mengurangi RTC karyawan.
b.
Melakukan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosi dan adversity karyawan, menciptakan iklim organisasi yang
berwawasan emosi dan keuletan sebagai wujud dari adversity, menerapkan pola
leadership berdasarkan kecerdasan emosi dan kecerdasan adversity.
2.
Memperhatikan kelemahan dalam penelitian ini, maka
sebaiknya untuk peneliti selanjutnya mencoba untuk mengkaji hal-hal sebagai
berikut:
a.
Menggunakan teknik sampling yang lebih sesuai dengan
kondisi populasinya, sehingga dapat terwakili setiap bagian yang ada dalam
populasi tersebut.
b.
Memperbaiki cara pengambilan data dengan membuatnya
secara klasikal agar dapat dikendalikan administrasi pengisian kuesioner
penelitiannya.
Daftar Pustaka
Bovey, W.H. dan Hede, A.
(2001) Resistance to organizational change: the role of defence
mechanism. Journal of Managerial psychology,
Vol. 16. h. 534 – 548
Bateman,
T.S., & Crant, J.M. (1993). The Proactive component of organizational
Behaviour : A measure and correlates. J
Chan, D. (2006).
Interactive Effects of Situational Judgement Effectiveness and Proactive
Personality on Work Perception and Work Outcomes. Journal of Applied Psychology. Vol. 91, No. 2
Ciarrochi, J.,
Joseph, F. & John, M. (2001) Emotional
intelligence in everyday life: a scientific inquiry. USA : Psychology Press.
Cohen, J., & Cohen, P. (1983). Applied
multiple regression/correlation analysis for the behavior sciences (2nd
ed.). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Cresswell, J.,W.
(2005). Educational research: planning,
conducting and evaluating, quantitative and qualitative research. New Jersey : Pearson
Education. Inc.
Dharmasoeka, E.
(2005). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja karyawan di
PT. Epsindo Jaya Pratama. Skripsi. Jakarta : Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya
Del Val, M. P. &
Fuentes, C. M. (2003). Resistance to Change: a Literature review and Empirical
Study. Management Decision, 41,
148-155.
Drazin, R. &
Schoonhoven, C.B. (1996) Community, population, and organization effects on
innovation: A multiple perspective. Academy of Management Journal, 39, 1065 -1083
Greenberg, J. dan
Baron, R.A. (2002) Behavior in
Organizations. New Jersey :
Prentice Hall
Goleman, D. (1999). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak
prestasi (Pengalih Bahasa: A.T. Widodo). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama
Hall, C.S. &
Gardner, L. (1993) Teori-teori holistik:
organismik – fenomenologis. Yogyakarta :
Kanisius
Hall, D.T., &
Moss, J.E. (1998) The new protean career contract: Helping organizations and
employees adapt. Organizational Dynamics.
26(3) 22 – 37
Hartman, A. (2006)
The role of organizational culture in motivating innovative behaviour in
construction firms. Construction
Innovation Journal. 6:
159–172
Hersen,
M. & Gross, A.M. (2008) Handbook of
Clinical Psychology, Volume 2: Children and Adolescents, New Jersey: JohnWiley & Sons, Inc.
Janou Vos. (2006) The role of personality and emotions in
employee resistance to change. Rotterdam : Erasmus University
Rotterdam
Krueger, R. F., Schmutte, P. S., Caspi, A., Moffitt, T. E.,Campbell,
K.,&Silva, P. A. (1994). Personality traits are linked to crime among men and
women: Evidence from a birth cohort. Journal of Abnormal Psychology, 103,
328–338.
Johnson, M. B.
(2005). Optimism, Adversity and Performance: Comparing Explanatory Style and AQ. San Jose State
University : The Faculty of the Department of
Psychology.
Judge, T.A.,
Thoresen, C.J., Bono, J.E., & Patton, G.K. (2001) The job satisfaction-job
performance relationship: A qualitative and quantitative review. Psychological Bulletin, 127. 376 -407.
Kaplan,R.M & Saccuzo, D.P, 2005. Psychological
Testing: Principles, Applications and Issues. USA : Thomson Learning Inc.
Kimberly, J.R.
(1981) Managerial innovation in PC Nystroom and W.H Starbuck (eds) Handbook of Organizational Design. Oxford : Oxford
University Press.
King, N. &
Anderson, N., (2003) Managing Innovation
and Change: A critical guide for organizations. Singapore :
Thomson Learning Asia
Kleysen, R.F &
Street, C.T. (2001). Toward a multi-dimension measure of individual innovative
behavior. Journal of Intellectual
Capital. Vol. 2, No. 3
Lines, R. (2004) Influence of participation in
strategic change: resistance, organizational commitment and change goal
achievement. Journal of change management,
Vol. 4. h. 193 – 215
Locke, E. A. (2005).
Why Emotional Intelligence is an Invalid Concept. Journal of Organizational Behavior. John Wiley & Sons, Ltd.
Luecke, R. (2003), Managing creativity and innovation. United States of America :
Harvard Business School Publishing Corporation
Markman, G. D.
(200?). Adversity Quotient: The Role Of Personal Bounce-Back Ability In New
Venture Formation. Unpublished manuscript, (?), Rensselaer Polytechnic
Institute.
Miliken, F., &
Martin, L. (1996) Searching for common threads: Understanding the multiple
effects of diversity in organizational groups. Academy of Management Review, 21, 402 - 433
Muchinsky, P. M.
(2003) Psychology Applied to Work. United States :
Thomson Wadsworth .
Oldman, G.R. & Cummings, R. (1996) Personal creativity:
personal and contextual factors at work. Academy of Management Journal. Vol. 39, 607 – 634
Oreg, S. (2003)
Resistance to Change: Developing an Individual Differences Measure. Journal of Applied Psychology. American
Psychological Association, Inc. Vol. 88, No. 4, 680–693
Paulus, P.B. (2000)
Groups, teams and creativity: The creative potential of idea generating groups.
Applied Psychology: An International
Review, 49, 237 – 262
Passer, M. W &
Smith, R. E. (2007). Psychology the
Science of Mind and Behavior (ed. 3rd). New York : Mc-Graw Hill.
Rafferty, A. E &
Griffin M. A. (2006). Perceptions of Organizational Change: A Stress and Coping
Perspective. Journal of Applied
Psychology, 91, 1154-1162.
Robins, R.W.., Fraley, R.C. & Krueger, R.F.
(2007) Handbook of Research Methods in
Personality Psychology. New York: The Guilford Press.
Rowe, A.J., (2004) Creative intelligence: discovering the
innovative potential in ourselves and others. New Jersey : Pearson Education, Inc.
Scott, S.G., &
Bruce, R.A. (1994) Determinants of
innovative behavior: A path model of individual innovation in the workplace. Academy of Management Journal; Vol. 37, Number 3; 580
Spector, P. E.,
1996, Industrial and Organizational
Psychology: Research and Practice , Canada : John Willey & Sons
Stoltz, P. G. (2000). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT.
Gramedia Widiasarana Indonesia.
Stoltz, P. G. (2003). Adversity Quotient @ Work : Mengatasi Kesulitan di Tempat Kerja.
Mengubah Tantangan Sehari-Hari Menjadi Kunci Sukses Anda. Batam Centre:
Interaksara.
Suherman. (2002). Hubungan Antara Tingkat AQ dengan Prestasi Kerja. Jakarta: Skripsi
Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya.
Sutedja, F. (2003). Hubungan AQ dengan
Produktivitas Sales Executives Perusahaan Asuransi Jiwa. Jakarta : Skripsi Fakultas Psikologi Universitas
Katolik Atmajaya.
[1] Peneliti, Dosen Program Studi Psikologi
Universitas Paramadina dan Penerima Management Principia-Paramadina Fellowship
2008 untuk Program Doktor Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas
Padjadjaran Bandung. Artikel yang disampaikan pada Dies Natalis Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung, Agustus 2009
saya ingin bertanya, apabila saya ingin mendapatkan paper engkap dari penelitian ibu ini, kira-kira saya bisa mengakses / mencari dimana ya bu? selain itu saya juga ingin tahu lebih jelas mengenai alat ukur resistance to change yang ibu gunakan dalam penelitian ini, seperti pengertian dari dimensi alat ukur, penjelasan dari keempat faktor dari alat ukur, pengujian reliabilitas dan validitasnya seperti apa? informasi tersebut saya butuhkan untuk keperluan skripsi saya, apakah kira-kira ibu dapat membantu untuk menjelaskannya ya bu?
ReplyDeleteTerima Kasih banyak
Dear Ivana...
ReplyDeletemohon maaf baru balas.
utk RTC, saya mengunakan theory dr Shaul Oreg dengan 4 dimensi. Saya akan kirimkan hasil riset saya ini ke ivanna. Boleh share email ivana.
Salam
Ayu
Dear Ivana...
ReplyDeletemohon maaf baru balas.
utk RTC, saya mengunakan theory dr Shaul Oreg dengan 4 dimensi. Saya akan kirimkan hasil riset saya ini ke ivanna. Boleh share email ivana.
Salam
Ayu
Selamat siang Ibu :)
ReplyDeleteSaya sangat tertarik dengan penelitian ini, karena kebetulan skripsi saya membahas tentang resistance to change dengan teori dari Oreg juga. Apa saya bisa mendapat paper ini secara lengkap Bu? Terimakasih sebelumnya. Email saya : raihanah.rajab@gmail.com