Saturday, April 21, 2012

Artikel yang disampaikan pada Dies Natalis Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung, Agustus 2009


Kepribadian Proaktif, Kecerdasan Emosi Dan Adversity Sebagai Variabel Yang Mempengaruhi Resistance To Change Karyawan Di Perusahaan X

Ayu Dwi Nindyati[1]

Abstraksi
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui variabel dari aspek personal yang mampu mempengaruhi resistance to change. Aspek-aspek personal yang diukur dalam penelitian ini adalah kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan adversity. Penelitian dilakukan pada perusahaan yang memiliki tuntutan lingkungan tinggi, sehingga mengharuskan perusahaan untuk memiliki irama perubahan kerja yang tinggi. Setelah dianalisis, dari tiga aspek personal tersebut, variabel kepribadian proaktif tidak terbukti beperngaruh dengan signifikan pada resistance to change. Dua variabel lainnya yaitu kecerdasan emosi dan adversity, mempengaruhi resistance to change. Pengaruh yang diberikan dua aspek variabel tersebut adalah pengaruh negatif. Hal ini menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dan adversity mampu mengurangi resistance to change yang dialami oleh karyawan.

Kata kunci: resistance to change, kepribadian proaktif, kecerdasan emosi, kecerdasan adversity.

Pendahuluan
Tuntutan dari lingkungan membawa organisasi melakukan perubahan (Muchinsky, 2003). Tuntutan-tuntutan tersebut seperti perkembangan teknologi, tekanan ekonomi, persaingan, trend sosial, dan politik (Robbins, 1998). Dengan kata lain, untuk menjaga kelangsungannya organisasi harus menyesuaikan diri dengan perkembangan atau perubahan yang terjadi di lingkungan. Adanya perubahan dalam organisasi merupakan satu tantangan tersendiri bagi para pelaku organisasi, baik pemimpin maupun bawahan. Terutama bagi para pelaku organisasi yang sudah merasakan adanya kenyamanan dan kemapanan dalam menyelesaikan tugasnya. Termasuk kelompok para karyawan yang sudah menciptakan rutinitas dalam menyelesaikan tugasnya. Adanya perubahan tidak jarang mengakibatkan para pelaku organisasi merasakan kecemasan dan ketakutan  akan terganggunya rutinitas dan rasa nyaman yang sudah dimiliki. Dalam situasi ini individu cenderung memilih untuk tidak mengikuti perubahan dan bertahan dengan cara-cara lama yang sudah biasa dikerjakan. Situasi ini tentunya akan merugikan organisasi yang sedang melaksanakan perubahan untuk menjawab tuntutan lingkungan

Kajian Teori dan Model Penelitian
Setiap perubahan dalam organisasi berpengaruh pada karyawan (Rafferty & Griffin, 2006). Ketika individu menghadapi perubahan dalam organisasi maka individu akan menunjukkan reaksi tertentu (Bovey & Hede, dalam Janou Vos, 2006). Reaksi terhadap perubahan dapat berupa suatu hal yang dirasakan sebagai beban (e.g., Coch & French; Zander; Zaltman & Duncan; Tichy; dalam Oreg, 2003). Perubahan dapat menimbulkan kesulitan atau ketidakmampuan individu untuk memprediksi dampak dari perubahan. Pada akhirnya individu dapat mengalami rasa cemas dan perasaan tidak mampu mengendalikan situasi (Muchinsky, 2003; Janou Vos, 2006). Perasaan cemas dan tidak mampu mengendalikan situasi muncul karena adanya situasi yang tidak jelas atau ambigu. Situasi ambigu ini dapat menyebabkan individu merasa tidak mampu mengubah kebiasaannya, sehingga sikap bertahan terhadap perubahan cenderung untuk muncul (Janou Vos, 2006). 
Sikap bertahan terhadap perubahan atau resistance to change (RTC) merupakan kecenderungan individu untuk tidak mau berubah atau menghindari perubahan (Oreg, 2003). Resistance to change merupakan sikap negatif dari individu dan berpotensi menjadi hambatan utama bagi perusahaan untuk melakukan perubahan (Muchinsky, 2003). Greenberg dan Baron (2002, dalam Janou Vos, 2006) menjelaskan RTC sebagai perilaku yang diperlihatkan oleh individu dengan tujuan untuk memperlambat atau menghentikan perubahan tersebut. Lines (2004) menjelaskan RTC sebagai kecenderungan karyawan untuk menunjukkan perilaku yang tidak menghendaki adanya perubahan. Pada dasarnya RTC ini tidak berkaitan langsung dengan perubahannya, namun lebih pada adanya personal loss atau kemungkinan untuk mengalami hal tersebut, hal ini dikarenakan bahwa setiap individu memiliki keyakinan bahwa seseorang dapat menghadapi perubahan yang terjadi (McKenna, 2000).
Individu yang mengalami RTC menunjukkan sikap tidak mau meninggalkan cara lama saat bekerja, tidak mau belajar, melakukan kesalahan-kesalahan saat bekerja dan membuat gosip yang tidak benar tentang perubahan (Greenberg & Baron; Bovey & Hede; dalam Janou Vos, 2006). Sikap resisten yang timbul sebagai reaksi terhadap perubahan memberikan dampak pada organisasi, seperti menurunnya komitmen organisasi, meningkatnya jumlah keterlambatan dan ketidakhadiran individu (King & Anderson, 2003). Sikap individu yang seperti ini dapat menghalangi proses perubahan dan dapat meningkatkan kerugian organisasi  (Metselaar; Del Val & Fuentes; dalam Janou vos, 2006).
Mempertimbangkan hasil penelitian yang menjelaskan dampak RTC pada berbagai aspek kerja karyawan, maka dapat dipahami jika RTC merupakan fenomena yang layak untuk dikaji lebih mendalam. Respon yang dimunculkan setiap individu terhadap perubahan berbeda-beda. Aspek-aspek personal yang dapat membedakan reaksi individu terhadap perubahan diantaranya adalah aspek kepribadian, seperti yang dijelaskan  Armenakis, dkk dan Vakola, dkk (dalam Janou Vos, 2006) menjelaskan bahwa aspek kepribadian individu mampu mempengaruhi perbedaan respon terhadap perubahan. Kepribadian menentukan bagaimana individu bertindak atau berperilaku. Baron dan Greenberg (dalam Janou Vos, 2006) menjelaskan bahwa kepribadian adalah sifat dan karakteristik yang membuat keunikan pada individu. Dengan keunikan tersebut, individu dapat berbeda-beda dalam menilai dan bereaksi terhadap perubahan (Lazarus; Armenakis et al.;    Vakola et al.; Metselaar & Cozijnsen; dalam Janou Vos, 2006).
Bateman dan Crant (1993) mengemukakan konsep tentang kepribadian proaktif yaitu kecenderungan individu dalam mengambil tindakan untuk mempengaruhi lingkungan. Bandura (dalam Bateman & Crant, 1993) menyatakan bahwa individu dan lingkungan saling mempengaruhi satu sama lain. Pengaruh yang ditunjukkan setiap individu berbeda-beda. Perbedaan individu ini yang menunjukkan karakteristik kepribadian proaktif     (Bateman & Crant, 1993). Bateman dan Crant (1993) menambahkan individu proaktif merupakan individu yang tidak terhambat dengan perubahan dari lingkungan dan tidak merasa dipaksa oleh keadaan lingkungan sekitarnya. Lebih lanjut Crant (dalam Major, Turner, & Fletcher, 2006) menjelaskan bahwa individu proaktif mampu mengidentifikasi dan memanfaatkan kesempatan, menunjukkan inisiatif, tekun dalam usahanya hingga individu memahami maksud dari terjadinya perubahan, dan mampu memanfaatkan semua sumber yang tersedia.
Individu proaktif sangat dibutuhkan oleh organisasi-organisasi yang peduli terhadap pencapaian efektivitas tujuan organisasi tersebut. Organisasi membutuhkan individu dengan karakteristik tersebut, yang dapat mencari jalan keluar dalam menyelesaikan tugasnya dan yang dapat bekerja secara proaktif dengan mengambil inisiatif dan belajar secara aktif  (Frese et al.; Crant; Parker; dalam Sonnentag, 2003). Dalam setiap penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa individu dengan tingkat kepribadian proaktif yang tinggi memiliki penampilan kerja yang lebih baik dan hasil kerja yang positif (Chan, 2006).
Keberhasilan individu sebagai pelaku organisasi dalam merespon tuntutan lingkungannya tidak hanya terkait dengan adanya karyawan-karyawan yang memiliki kepribadian yang proaktif. Aspek personal lain yang tidak dapat dilepaskan dari bagaimana individu merespon lingkungan dan situasi adalah kecerdasan emosi. Dengan kecerdasan emosi individu dapat mengelola respon emosi yang akan dimunculkan berkaitan dengan tuntutan lingkungannya.
Kecerdasan emosi  pada awalnya diformulasikan oleh John Meyer dan Peter Salvoes pada tahun 1990. Definisi yang diberikan oleh Meyer dan Salvoes tentang kecerdasan emosi adalah kemampuan menerima dan mengekspresikan emosi yang dirasakan, memahami emosi secara kognitif, mengerti dan mengetahui penyebab emosinya serta mampu mengatur atau mencocokkan emosinya dengan situasi yang tidak menyenangkan (dalam Passer dan Smith, 2007; Weiten dan Lloyd, 2006). Definisi lain dari kecerdasan emosi menurut Goleman (1999) adalah kemampuan untuk mengendalikan diri sendiri dan memiliki daya tahan ketika menghadapi rintangan, mampu mengendalikan impuls dan tidak cepat merasa puas. Individu mampu mengatur suasana hati dan mampu mengelola kecemasan agar tidak menggangu kemampuan berpikir. Selain hal-hal tersebut individu juga mampu berempati, membina hubungan yang baik dengan orang lain dan mudah mengenali emosi pada orang penuh perhatian. Pada definisi ini, Goleman menekankan pada lima area kecerdasan emosi yaitu  mengenali emosi diri, dapat mengontrol emosi, dapat memotivasi diri, mengenali emosi orang lain dan dapat berhubungan dengan orang lain. 
Individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi mempunyai kesadaran diri untuk lebih mengenali emosi dan pikiran yang sedang terjadi pada dirinya, tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan. Individu mempunyai kejernihan dalam berpikir, mampu lebih mengendalikan diri dan dapat melindungi dirnya dari pengaruh stress yang datang, sehingga mengetahui tindakan apa yang akan diambil untuk mengatasi permasalahannya (Mayer dalam Goleman 1999; Taylor,2001; Salvoes & Pizarro, 2003). Sebaliknya, individu yang memiliki kecerdasan emosi yang rendah akan bereaksi terhadap situasi yang tidak menyenangkan dengan cara yang tidak sehat. Individu tersebut akan cenderung larut dalam permasalahan dan tidak dapat melihat permasalahan dengan jernih, sehingga sulit mencari solusi masalahnya. Bila situasi ini berkelanjutan, dapat menyebabkan gangguan fisik maupun mental individu tersebut (Taylor, 2001).
Penelitian terkait dengan kecerdasan emosi yang dilakukan oleh Lewin ( dalam Hall & Gardner, 1993) menjelaskan bahwa untuk berprilaku, dalam hal ini dapat dijelaskan sebagai kinerja, individu membutuhkan kepribadian dan lingkungan Sementara itu penelitian yang dilakukan Mayer (dalam Ciarochi, Forgas dan Mayer, 2001) menjelaskan bahwa  kecerdasan emosi mampu memprediksikan kinerja yang bagus bagi karyawan. Dari dua penelitian terakhir dijelaskan bahwa keceredasan emosi dapat mempengaruhi kinerja karyawan sebagai salah satu perilaku produktif karyawan yang menunjang tercapainya tujuan organisasi.
Aspek lingkung terbukti tidak dapat dilepaskan dari perilaku seseorang. Interaksi antara lingkungan dan seseorang akan mampu membentuk suatu reaksi personal yang khas dalam diri seseorang. Termasuk pada saat seseorang mengalami kesulitan atau tantangan. Perubahan yang terjadi dalam ruang lingkup organisasi maupun tuntutan pekerjaan, bagi beberapa orang dapat dianggap sebagai hambatan. Reaksi setiap orang berbeda dalam menghadapi perubahan tersebut. Berdasarkan fenomena RTC pada bagian sebelumnya dan dampak yang ditimbulkan RTC terhadap perilaku karyawan, maka organisasi membutuhkan individu yang tangguh (hardiness) dalam menghadapi perubahan. Sikap tangguh muncul dalam perilaku yang tidak mudah menyerah terhadap situasi, tidak menarik diri dari situasi, dan bisa mengendalikan situasi (Kobasa, (Averbach & Gramling, 1998); Maddi & Khoshaba, 2005). Individu yang tangguh melihat perubahan sebagai hal yang normal dan menilainya dengan cara yang positif. Individu dengan karakteristik tersebut dapat digolongkan pada kelompok individu yang memiliki kecerdasan adversity (Stoltz, 2000; Maddi (dalam Johnson, 2005). Stoltz (2000) menjelaskan kecerdasan adversity dapat memberikan pandangan bahwa kesulitan (dalam hal ini perubahan organisasi) bisa diubah menjadi suatu peluang.
Menurut Seligman (dalam Stoltz, 2000), individu yang memiliki kecerdasan adversity tinggi dan kecerdasan adversity rendah memiliki perbedaan perilaku ketika berhadapan dengan kesulitan. Perbedaan respon terhadap kesulitan dijelaskan oleh Seligman sebagai pesimis dan optimis. Individu dengan kecerdasan adversity rendah atau individu pesimis akan merespon kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya tetap, internal, dan dapat digeneralisasi ke bidang-bidang kehidupan lain. Sebaliknya, individu dengan kecerdasan adversity tinggi atau individu optimis akan menanggapi kesulitan sebagai sesuatu yang sifatnya eksternal, sementara, dan terbatas atau tidak memberikan dampak kepada bagian kehidupan individu yang lain.
Dalam beberapa penelitian tentang kecerdasan adversity, mengindikasikan bahwa individu yang bertahan lama di dalam organisasi adalah individu-individu yang memiliki tanggung jawab dan melihat peristiwa negatif atau kesulitan sebagai sesuatu yang bersifat sementara (Zahra & Neubaum (dalam Markman, 200?); Stoltz, 2000). Kecerdasan adversity juga berhubungan secara positif dengan kinerja individu (Suherman, 2002; Stoltz, 2003; Sutedja, 2003; Kusuma, 2004; Johnson, 2005), kesuksesan (Markman, 200?; Stoltz, 2003; Maxwell (dalam Kusuma, 2004)), dan komitmen terhadap masa transformasi dari organisasi atau perubahan (Langvardt, 2007).   
Berdasarkan uraian diatas, didapatkan pemahaman bahwa RTC merupakan respon individu yang bersifat negatif terhadap perubahan organisasi. Respon RTC memiliki dampak yang tidak hanya merugikan individu, tapi juga pada kelompok dan organisasi. Adanya RTC pada karyawan mengakibatkan proses perubahan menjadi terhambat dan kemajuan yang diharapkan oleh organisasi tidak dapat tercapai. Dengan demikian, organisasi membutuhkan individu-individu yang mau menerima perubahan, mampu menghadapi perubahan dan mengatasinya dengan sukses atau individu-individu yang memiliki kecerdasan adversity tinggi (Stoltz, 2000). Dengan penjelasan ini, kecerdasan adversity layak dipertimbangkan sebagai satu aspek penting dalam menjelaskan RTC. Tingkat kecerdasan adversity yang berbeda pada individu dalam organisasi diduga dapat menimbulkan munculnya reaksi yang berbeda terhadap perubahan organisasi.
Uraian tiga aspek personal yang berkembang dalam individu memberikan informasi keterkaitan tiga aspek tersebut dengan RTC secara konseptual. Individu dengan karakteristik kepribadian proaktif dapat mendukung proses pelaksanaan organisasi, sebaliknya karakteristik RTC menunjukkan aspek-aspek yang dapat menghambat perubahan dan merugikan organisasi. Dengan kata lain, dengan adanya kepribadian proaktif diduga dapat mengurangi RTC yang dapat merugikan organisasi. Sebaliknya, individu RTC cenderung kurang memiliki kepribadian proaktif. Dengan melihat keterkaitan tersebut peneliti menduga kepribadian proaktif dan RTC memiliki korelasi yang negatif. Pentingnya kecerdasan emosi dalam pencapaian kinerja karyawan maka dapat dianalogikan, bagaimana kecerdasan emosi dapat berpengaruh terhadap RTC. Kecerdasan emosi memberikan gambaran sebagai individu yang mampu memberikan respon dengan dilandasi oleh adanya pemahaman atas stimulusnya secara proporsional. Individu dengan kecerdasan emosi tinggi pada umumnya mampu menunjukkan adanya penerimaan atas tuntutan dari lingkungan. Individu dengan kecerdasan emosi yang tinggi seharusnya tidak memiliki kecemasan terhadap situasi yang tidak diharapkannya seperti perubahan dalam organisasi yang menuntutnya untuk merubah cara kerja. Dengan kata lain dapat diasumsikan bahwa individu yang memiliki kecerdasan emosi tinggi adalah individu yang mampu mengendalikan emosinya. Individu tersebut tidak larut dalam situasi yang tidak menyenangkan sehingga individu tersebut tidak akan memiliki RTC tinggi. Selain kepribadian proaktif dan kecerdasan emosi, maka dalam kecerdasan adversity pun memberika dinamika yang sama bahwa kecerdasan adversity mampu mempengaruhi RTC. Individu yang memiliki tingkat kecerdasan adversity rendah akan cenderung mengalami RTC dibandingkan individu dengan tingkat kecerdasan adversity tinggi.   Berdasarkan uraian dinamika tiga aspek personal tersebut terhadap RTC, maka dapat dirumuskan hipotesis berikut.

Hipotesis:  Kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan kecerdasan adversity berpengaruh negatif  terhadap RTC

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian non eksperimen. Penelitian ini dilakukan dalam seting alamiah tanpa memberikan perlakuan tertentu pada subyek penelitian untuk mendapatkan gambaran setiap variabel penelitiannya (Creswell, 2005). Organisasi yang digunakan pada penelitian ini adalah stasiun televisi. Hal ini sesuai dengan variabel yang digunakan, bahwa dalam perusahaan televisi dituntut adanya aktifitas yang memerlukan inisiatif, kreatifitas, invatif dan dapat memenuhi setiap tuntutan perubahan yang terjadi. Variasi tuntutan perubahan yang mendesak individu dalam dunia pertelevisian untuk tetap mengembangkan perilaku yang inovatif.  Memperhatikan hal tersebut, maka pada penelitian ini akan digunakan karyawan dari stasiun televisi yang sedang atau telah mengalami peurbahan mendasar.
Penelitian ini dengan pendekatan kuantitatif. Pemilihan sampel harus memenuhi asas representative, salah satunya adalah dengan menggunakan teknik sampling tertentu untuk mendapatkan sampel. Teknik sampling yang digunakan adalah teknik sampling simple non random sampling (Creswell, 2005). Yaitu teknik pengambilan sampel secara sederhana dengan tidak memberikan peluang yang sama bagi anggota populasi untuk menjadi sampel. Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah karyawan yang telah ditentukan oleh perusahaan. Penelitian ini menggunakan subyek penelitian karyawan salah satu stasiun televisi swasta di Jakarta sejumlah 152 orang.
Resistance to Change merupakan satu fenomena sebagai hasil dari proses perubahan, dengan melakukan hal-hal yang dapat mengurangi, memperlambat atau bahkan mendukung adanya perubahan tersebut. Pada penelitian ini RTC dimaksudkan sebagai skor individu sebagai sampel penelitian setelah diukur dengan kuesioner yang dikembangkan oleh Oreg (2003). Alat ukur ini diperoleh dari Resistance to Change Scale (RTCS). Resistance to change scale didisain dengan tujuan mengukur kecenderungan individu untuk bertahan terhadap perubahan, yang meliputi dimensi perilaku, kognitif, dan afektif. Terdapat enam sumber yang diidentifikasi dari RTCS yaitu, reluctance to lose control, cognitive rigidity, lack of psychological resilience, intolerance to adjustment period involved in change, preference for low levels of stimulation and novelty, dan reluctance to give up old habits. Dari keenam sumber tersebut, dibentuk menjadi empat faktor yang digunakan dalam alat ukur RTCS yaitu, routine seeking, emotional reaction, short-term focus, dan cognitive rigidity. Alat ukur RTC ini menggunakan penskalaan model Likert.
Variabel kepribadian proaktif dijelaskan sebagai kekhasan dalam diri individu yang tidak mengalami hambatan dari lingkungan dan tidak mudah terpengaruh perubahan lingkungan. Untuk mengetahui hal ini, maka digunakan skor yang mencerminkan kepribadian proaktif yang dihasilkan oleh kuesioner  yang dikembangkan oleh Crant dan Bateman (1993). Alat ukur kepribadian proaktif yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Bateman dan Crant (1993), yaitu Proactive Personality Scale (PPS). Alat ukur ini dibentuk menggunakan pendekatan skala unidimensional dengan faktor tunggal yaitu proaktif. Alat ukur terdiri dari 17 butir pernyataanyang  menggunakan skala likert. Setiap pernyataan yang diajukan kepada responden memiliki lima kategori jawaban, yaitu “sangat tidak setuju” (STS), “tidak setuju” (TS), “netral” (N), “setuju” (S), dan “sangat setuju” (SS). Jarak antar kategori jawaban tersebut berskala interval dari 1 sampai 5 (Azwar, 2000; 2004).
Kecerdasan emosi merupakan kemampuan individu untuk menggunakan emosinya secara cerdas, dimana individu dapat mengatur dan mengelola emosi yang datang sehingga dapat memberikan keuntungan bagi dirinya dan dalam hubungannya dengan orang lain. Variabel ini akan tercermin pada skor individu yang diperoleh dari kuesioner kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Darmasuka (2005) berdasarkan teori Goleman (1995). Alat ukur kecerdasan emosi pada penelitian ini menggunakan alat ukur yang sudah digunakan oleh Dharmasoeka (2005) pada penelitian sebelumnya. Alat ukur ini berjumlah 33 pernyataan yang dibuat berdasarkan lima dimensi kecerdasan emosi dari Goleman (1999), yaitu : kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati dan ketrampilan sosial. Alat ukur ini menggunakan skala likert. Penentuan nilai skala berdasarkan distribusi respon pernyataan sikap. Sifat pernyataan dalam alat ukur ini dibagi menjadi dua, yaitu pernyataan favorable (yang bersifat mendukung atau memihak kepada objek yang diukur) dan pernyataan unfavorable (yang bersifat tidak mendukung kepada objek yang diukur (Azwar, 2000). Contoh item pada setiap variabel penelitian dapat dilihat pada table 1 berikut ini.
Kecerdasan adversity memberikan pemahaman tentang bagaimana individu mampu bertahan menghadapi dan mengatasi kesulitan, meramalkan individu mana yang mampu mencapai prestasi dari kinerjanya dan individu mana yang akan gagal. Variabel ini akan diukur dengan menggunakan kuesioner yang dikembangkan peneliti berdasarkan konsep yang dikemukan oleh Stolzt (2000). Alat ukur untuk kecerdasan adversity akan disusun berdasarkan konsep teori kecerdasan adversity yang dikembangkan oleh Stoltz (2000). Kecerdasan adversity akan diungkap melalui alat ukur berbentuk self-rating questionnaire. Dengan alat ukur kecerdasan adversity akan diketahui skor dan gambaran dari adversity quotient (AQ) individu, berikut dimensi-dimensi kecerdasan adversity meliputi control, ownership, reach, dan endurance. Alat ukur kecerdasan adversity berjumlah 20 pernyataan, yang tersusun berdasarkan lima kondisi. Setiap kondisi masing-masing terdiri dari 4 buah pernyataan. Pernyataan dari baris paling atas merupakan kondisi kesulitan yang dihadapi individu dpernyataanpat kerja, sedangkan 4 pernyataan di bawahnya merupakan representasi untuk mengukur tiap dimensi kecerdasaan adversity secara berurutan yaitu control (C), ownership (O), reach (R), dan endurance (E). Peristiwa kesulitan dpernyataanpat kerja didapatkan dari Kay (1974), Kearns (1973) dan Sofer (1970) (dalam McKenna, 2000), yaitu time pressures and deadlines to meet,  work relationships, endeavouring to cope with changes that affect the job, career development, dan a perceived mismatch between performance on the job and the financial benefits secured. Keduapuluh pernyataan di dalam kuesioner merupakan pernyataan yang menggambarkan situasi atau peristiwa yang menempatkan individu dalam kesulitan.  Responden diharapkan dapat membayangkan sedang berada di dalam situasi tersebut dan kemudian memberikan jawaban yang paling menggambarkan responnya terhadap situasi sulit tersebut dalam rentang skala 1 sampai 5 menggunakan skala Likert, yaitu:
a.       Control: Saya akan mampu mengendalikan peristiwa tersebut
Skala 1 berarti tidak sama sekali dan skala 5 berarti sangat mampu
b.      Ownership: Saya memiliki kemungkinan untuk menghadapi peristiwa tersebut
Skala 1 berarti sangat tidak mungkin dan skala 5 berarti sangat mungkin
c.       Reach: Kondisi tersebut dapat mengganggu keseluruhan aktifitas kerja saya
Skala 1 berarti memberikan pengaruh buruk pada seluruh aktifitas dan skala 5 berarti tidak satu pun aktifitas saya yang terganggu
d.      Endurance: Kondisi ini akan mempengaruhi aktifitas kerja saya dalam waktu..
Skala 1 berarti sangat lama dan skala 5 berarti sangat singkat
Setelah responden melengkapi keduapuluh pernyataan dalam kuesioner, kemudian setiap pernyataan dijumlahkan untuk membuat skor tunggal dari kecerdasan adversity (AQ). Penjumlahan dari masing-masing dimensi (CORE) juga akan menghasilkan skor tunggal untuk masing-masing dimensi.  Setiap skor, baik AQ maupun CORE akan menggambarkan kondisi individu berdasarkan rentangan kecerdasan adversity, yaitu rendah, sedang, dan tinggi. Untuk selanjutnya profil individu dapat diketahui secara lebih mendalam dengan menggambarkan grafik untuk dimensi CORE, sehingga dapat diketahui keterpaduan dan hubungan dari satu dimensi ke dimensi lainnya atau dapat diketahui dimensi mana yang paling dominan. Secara umum penafsiran dari jumlah skor yang tinggi digambarkan sebagai individu yang memiliki kecerdasan adversity tinggi, dan begitu juga sebaliknya.
Pada tabel 1 berikut ini dapat dilihat contoh-contoh pernyataan pada setiap variabel penelitian yang digunakan dalam penelitian ini.


Tabel 1. Contoh item untuk variabel RTC, kecedasan emosi dan perilaku inovatif
Variabel Penelitian
Item/pernyataan
RTC scale
Routine seeking
Emotional  reaction
Short-term focus
Cognitive  rigidity

Proactive personality scale (PPS)
Proaktif

Kecerdasan Emosi
Kesadaran diri
Pengaturan diri
Motivasi diri
Empati
Ketrampilan sosial

Kecerdasan Adversity
Control
Ownership
Reach
Endurance

Perubahan  di tempat kerja  adalah situasi  yang tidak menyenangkan
Perubahan di tempat kerja yang tiba-tiba membuat saya stres
Saya bermasalah dengan rencana perubahan
Setelah menemukan cara penyelesaian masalah, saya tidak akan merubah pemikiran saya


Saya menemukan cara untuk meningkatkan kualitas hidup


Saya mengerjakan tugas dengan baik meski sedang marah
Saya tetap tenang disaat berada dalam situasi yang tidak menyenangkan
Saya mencoba mencari penyebab kegagalan saya
Saya dapat merasakan kekecewaan rekan kerja
Saya mudah menyesuaikan diri dalam lingkungan baru


Saya akan mampu mengendalikan peristiwa tersebut
Saya memiliki kemungkinan untuk menghadapi peristiwa tersebut
Kondisi tersebut dapat mengganggu keseluruhan aktifitas kerja saya
Kondisi ini akan mempengaruhi aktifitas kerja saya dalam  waktu

Hasil uji reliabilitas dengan alpha cronbach menunjukkan hasil koefisien α alat ukur RTC 0,809; kepribadian proaktif 0,788; kecerdasan emosi 0,810 dan kecerdasan adversity sebesar 0,915. Berdasarkan Kaplan dan Sakuzo (2005), maka alat ukur yang digunakan pada penelitian ini memiliki reliabilitas bagus. Kaplan dan Sakuzo mensyaratkan minimal koefisien α sebesar .70 cukup memadai untuk penelitian.

Uji Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, diuji dengan menggunakan teknik statistik multiregresi. Hal ini dikarenakan ada tiga variabel bebas (independent) dan satu variabel terikat (dependent). Analisis data dikerjakan dengan menggunakan SPSS for Windows Seri 14. Tabel 2 berikut ini akan menjelaskan informasi deskriptif data penelitian sebelum dilakukan analisis multi regresi.



Tabel 2. Rata-rata, Standard Deviasi dan Interkorelasi Antar Variabel Penelitian, N= 152

Variabel Penelitian
M
SD
1
2
3
1.     Resistance to Change
2.        Kecerdasan Adversity
3.         Kecerdasan Emosi
4.         Kepribadian Proaktif
30.10
72.36
91.10
56.09
6.59
11.29
7.99
6.23

-.354**
-.407**
-.234**


.434**
.153 *




.419**
** p = 0.000
*   p < 0.01

Dari tabel 2 tersebut, dapat dilihat informasi bahwa korelasi yang terjadi antara kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan adversity dengan RTC terlihat signifikan dan negatif. Hal ini mejelaskan bahwa seseorang yang kepribadiak proaktif, kecerdasan emosi dan kecerdasan adversity semakin bagus atau tinggi maka RTC akan semakin kurang.
Hasil analisis multi regresi menjelaskan apakah hipotesis yang diajukan apakah dapat diterima atau ditolak. Hasil analisis multi regresi dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Ringkasan analisis multiregresi kperibadian proaktif, kecerdasan emosi dan kecerdasan adversity terhadap resistance to change (N = 152)
            Criterion
Predictor
β
t
R2

Resistance to change




Kepribadian proaktif
Kecerdasan emosi
Kecerdasan adversity

-0,085
-0,275
-0,221


-1,062
-3,113*
-2,729*


0,459**
** p = 0.000
*   p < 0.01

Berdasarkan Tabel 3, dapat diperoleh informasi bahwa hipotesis yang diajukan dapat diterima, dengan demikian kepribadian proaktif, kecerdasan emosi dan adversity berpengaruh pada RTC, dengan R2 = 0,459, p = 0,000. Dari tiga variabel bebas yang diajukan, menunjukkan adanya pengaruh negative dari setiap variabel bebas terhadap RTC. Berdasarkan sumbangan dari setiap variabel bebas terhadap munculnya RTC, ternyata ada satu variabel yang tidak bepengaruh terhadap RTC, yaitu variabel kepribadian proaktif, dengan β = - 0,085, p > 0.05 (p = 0,290). Dua variabel lainnya yaitu kecerdasan emosi dan adversity menjelaskan adanya pengaruh negative terhadap RTC secara signifikan. Dengan  β kecerdasan emosi sebesar -0,275, dengan p < 0,01 (p = 0,002);  β kecerdasan adversity sebesar – 0,221, dengan p < 0,01 (p =  0,007).

Pembahasan (Diskusi)
Berdasarkan hasil analisis tersebut dapat dijelaskan mengapa kepribadian proaktif tidak signifikan memberikan sumbangan secara mandiri terhadap RTC, padahal dalam hasil korelasi, kepribadian proaktif dapat berkorelasi dengan RTC. Seperti yang dijelaskan oleh Krueger, Schmutte, Caspi, Moffitt, Campbell, dan Silva  (1994) menjelaskan bahwa, kepribadian dapat bermanfaat sebagai IV, namun lemah sebagai variabel explanatory.
Alasan aspek kepribadian lemah sebagai variabel explanatory karena adanya mekanisme operasionalisasi definisi kepribadian yang kurang spesifik. Terkait dengan kepribadian proaktif yang kurang mampu menjelaskan RTC atau kurang mampu mengurangi RTC (karena nilai β adalah negative) karena kurang teroperasionalisasikan dengan jelas. Pada bagian pengukuran dijelaskan bahwa kepribadian proaktif yang dikembangkan oleh Crant dan Bateman (1993) merupakan Proactive Personality Scale (PPS) yang menggunakan pendekatan skala unidimensional dengan faktor tunggal yaitu proaktif. Dengan faktor tunggal ini, diduga kurang luas dalam mewakili perilaku proaktif yang mencerminkan kepribadian proaktif individu. Selain itu kurang mampunya kepribadian proaktif sebagai variabel explanatory terlihat pada hasil analisis pada penelitian ini yang menyebutkan bahwa dalam analisis korelasional (kepribadian sebagai variabel independen) menunjukkan bahwa kepribadian proaktif terbukti dengan signifikan berkorelasi negatif dengan RTC. Hal tersebut menguatkan penelitian sebelumnya bahwa kepribadian kurang kuat untuk menjadi variabel explanatory bila berdiri sendiri. Dengan kata lain, keberadaan kepribadian proaktif akan lebih bermakna dalam menjelaskan RTC bila berada dengan variabel lain. kepribadian proaktif membutuhkan variabel lain sebagai mediator dalam meningkatkan perannya pada RTC.
Hasil penelitian ini juga menginformasikan bahwa kecerdasan emosi dan adversity terbukti berpengaruhi negatif secara signifikan. Hal ini berarti baik kecerdasan emosi maupun adversity mampu mengurangi peluang terjadinya RTC pada seseorang. Peningkatan kualitas kecerdasan emosi danadversity akan mampu menghambat peningkatan RTC bahkan mampu menurunkan RTC yang dialami seorang karyawan. Terkait dengan kecerdasan emosi dalam diri seseorang, maka jika seseorang memiliki kualitas kecerdasan emosi yang baik, yang bersangkutan mampu mengelola kondisi emosinya agar tidak mudah terpengaruh situasi yang kurang menyenangkan. Dengan kondisi ini, maka jika terjadi perubahan dalam organisasi atau tuntutan pekerjaan, orang tersebut akan mampu memberikan respon pada perubahan tersebut dengan proporsional, sehingga meminimalkan munculnya RTC.
Kecerdasan adversity yang dimiliki seseorang akan membantunya menjaga staminanya dalam menghadapi hambatan,  bahkan mampu merubah hambatan itu menjadi tantangan. Secara ringkas, seseorang yang memiliki kecerdasan adversity mampu mengembangkan perilaku yang tetap optimal dan tidak mudah menyerah jika menghadapi situasi yang dipersepsikan tidak menyenangkan. Pada saat berhadapan dengan perubahan organisasi yang dianggap sebagian karyawan lain sebagai stimulus yang menyulitkan, maka seeorang yang memiliki kecerdasan adversity yang bagus akan mampu bertahan dan tidak memberikan respon yang negtif seperti RTC.
Dalam penelitian ini terdapat kelemahan yaitu pengambilan data tidak dilakukan pada responden yang dipilih secara random, namun responden yang dpilihkan oleh perusahaan tempat penelitian. Hal ini menyebabkan berkurangnya representasi responden dari populasinya. Apalagi dalam perusahaan ini terdiri dari berbagai divisi atau bidang. Dengan kondisi tersebut idealnya jumlah responden pada setiap divisi diambil secara proporsional, sehingga teknik sampling yang digunakan seharusnya adalah  proporsional cluster sampling.

Kesimpulan dan Saran
Dari hasil analisis data dan pembahasan yang dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa  kecerdasan emosi dan adversity dapat mengurangi munculnya RTC, namun kepribadian proaktif kurang mampu mempengaruhi keberadaan RTC. Berdasarkan kesimpulan yang ada, maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut:
1.      Untuk perusahaan agar lebih:
a.       Memperhatikan aspek kecerdasan emosi dan adversity karyawan sebagai variabel yang harus dipertimbangkan untuk merekrut karyawan, karena aspek ini terbukti merupakan aspek yang dapat mengurangi RTC karyawan.
b.      Melakukan pelatihan-pelatihan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi dan adversity karyawan, menciptakan iklim organisasi yang berwawasan emosi dan keuletan sebagai wujud dari adversity, menerapkan pola leadership berdasarkan kecerdasan emosi dan kecerdasan adversity.
2.      Memperhatikan kelemahan dalam penelitian ini, maka sebaiknya untuk peneliti selanjutnya mencoba untuk mengkaji hal-hal sebagai berikut:
a.       Menggunakan teknik sampling yang lebih sesuai dengan kondisi populasinya, sehingga dapat terwakili setiap bagian yang ada dalam populasi tersebut.
b.      Memperbaiki cara pengambilan data dengan membuatnya secara klasikal agar dapat dikendalikan administrasi pengisian kuesioner penelitiannya.



Daftar Pustaka
Bovey, W.H. dan  Hede, A.  (2001) Resistance to organizational change: the role of defence mechanism. Journal of Managerial psychology, Vol. 16. h. 534 – 548
Bateman, T.S., & Crant, J.M. (1993). The Proactive component of organizational Behaviour : A measure and correlates. J
Chan, D. (2006). Interactive Effects of Situational Judgement Effectiveness and Proactive Personality on Work Perception and Work Outcomes. Journal of Applied Psychology. Vol. 91, No. 2
Ciarrochi, J., Joseph, F. & John, M. (2001) Emotional intelligence in everyday life: a scientific inquiry. USA: Psychology Press.
Cohen, J., & Cohen, P. (1983). Applied multiple regression/correlation analysis for the behavior sciences (2nd ed.). Hillsdale, NJ: Erlbaum.
Cresswell, J.,W. (2005). Educational research: planning, conducting and evaluating, quantitative and qualitative research. New Jersey: Pearson Education. Inc.
Dharmasoeka, E. (2005). Hubungan antara kecerdasan emosional dengan kepuasan kerja karyawan di PT. Epsindo Jaya Pratama. Skripsi. Jakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Katolik Indonesia Atmajaya
Del Val, M. P. & Fuentes, C. M. (2003). Resistance to Change: a Literature review and Empirical Study. Management Decision, 41, 148-155.
Drazin, R. & Schoonhoven, C.B. (1996) Community, population, and organization effects on innovation: A multiple perspective. Academy of Management Journal, 39, 1065 -1083
Greenberg, J. dan Baron, R.A. (2002) Behavior in Organizations. New Jersey: Prentice Hall
Goleman, D. (1999). Kecerdasan emosi untuk mencapai puncak prestasi (Pengalih Bahasa: A.T. Widodo). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Hall, C.S. & Gardner, L. (1993) Teori-teori holistik: organismik – fenomenologis. Yogyakarta: Kanisius
Hall, D.T., & Moss, J.E. (1998) The new protean career contract: Helping organizations and employees adapt. Organizational Dynamics. 26(3) 22 – 37
Hartman, A. (2006) The role of organizational culture in motivating innovative behaviour in construction firms. Construction Innovation Journal. 6: 159–172
Hersen, M. & Gross, A.M. (2008) Handbook of Clinical Psychology, Volume 2: Children and Adolescents, New Jersey: JohnWiley & Sons, Inc.
Janou Vos. (2006) The role of personality and emotions in employee resistance to change. Rotterdam: Erasmus University Rotterdam
Krueger, R. F., Schmutte, P. S., Caspi, A., Moffitt, T. E.,Campbell, K.,&Silva, P. A. (1994). Personality traits are linked to crime among men and women: Evidence from a birth cohort. Journal of Abnormal Psychology, 103, 328–338.
Johnson, M. B. (2005). Optimism, Adversity and Performance: Comparing Explanatory Style and AQ. San Jose State University: The Faculty of the Department of Psychology.
Judge, T.A., Thoresen, C.J., Bono, J.E., & Patton, G.K. (2001) The job satisfaction-job performance relationship: A qualitative and quantitative review. Psychological Bulletin, 127. 376 -407. 
Kaplan,R.M  & Saccuzo, D.P, 2005. Psychological Testing: Principles, Applications and Issues. USA: Thomson Learning Inc.
Kimberly, J.R. (1981) Managerial innovation in PC Nystroom and W.H Starbuck (eds) Handbook of Organizational Design. Oxford: Oxford University Press.
King, N. & Anderson, N., (2003) Managing Innovation and Change: A critical guide for organizations. Singapore: Thomson Learning Asia
Kleysen, R.F & Street, C.T. (2001). Toward a multi-dimension measure of individual innovative behavior. Journal of Intellectual Capital. Vol. 2, No. 3
Lines,  R. (2004) Influence of participation in strategic change: resistance, organizational commitment and change goal achievement. Journal of change management, Vol. 4. h. 193 – 215
Locke, E. A. (2005). Why Emotional Intelligence is an Invalid Concept. Journal of Organizational Behavior. John Wiley & Sons, Ltd.
Luecke, R. (2003), Managing creativity and innovation. United States of America: Harvard Business School Publishing Corporation
Markman, G. D. (200?). Adversity Quotient: The Role Of Personal Bounce-Back Ability In New Venture Formation. Unpublished manuscript, (?), Rensselaer Polytechnic Institute.
Miliken, F., & Martin, L. (1996) Searching for common threads: Understanding the multiple effects of diversity in organizational groups. Academy of Management Review, 21, 402 - 433
Muchinsky, P. M. (2003) Psychology Applied to Work. United States: Thomson Wadsworth.
Oldman, G.R. & Cummings, R. (1996) Personal creativity: personal and contextual factors at work. Academy of Management Journal. Vol. 39, 607 – 634
Oreg, S. (2003) Resistance to Change: Developing an Individual Differences Measure. Journal of Applied Psychology. American Psychological Association, Inc. Vol. 88, No. 4, 680–693
Paulus, P.B. (2000) Groups, teams and creativity: The creative potential of idea generating groups. Applied Psychology: An International Review, 49, 237 – 262
Passer, M. W & Smith, R. E. (2007). Psychology the Science of Mind and Behavior (ed. 3rd). New York: Mc-Graw Hill.
Rafferty, A. E & Griffin M. A. (2006). Perceptions of Organizational Change: A Stress and Coping Perspective. Journal of Applied Psychology, 91, 1154-1162.
Robins, R.W.., Fraley, R.C. & Krueger, R.F. (2007) Handbook of Research Methods in Personality Psychology. New York: The Guilford Press.
Rowe, A.J., (2004) Creative intelligence: discovering the innovative potential in ourselves and others. New Jersey: Pearson Education, Inc.
Scott, S.G., & Bruce, R.A. (1994) Determinants of innovative behavior: A path model of individual innovation in the workplace. Academy of Management Journal; Vol. 37, Number 3; 580
Spector, P. E., 1996, Industrial and Organizational Psychology: Research and Practice, Canada : John Willey & Sons
Stoltz, P. G. (2000). Adversity Quotient: Mengubah Hambatan Menjadi Peluang. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Stoltz, P. G. (2003). Adversity Quotient @ Work : Mengatasi Kesulitan di Tempat Kerja. Mengubah Tantangan Sehari-Hari Menjadi Kunci Sukses Anda. Batam Centre: Interaksara.
Suherman. (2002). Hubungan Antara Tingkat AQ dengan Prestasi Kerja. Jakarta:  Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya.

Sutedja, F. (2003). Hubungan AQ dengan Produktivitas Sales Executives Perusahaan Asuransi Jiwa. Jakarta: Skripsi Fakultas Psikologi Universitas Katolik Atmajaya.



[1] Peneliti, Dosen Program Studi Psikologi Universitas Paramadina dan Penerima Management Principia-Paramadina Fellowship 2008 untuk Program Doktor Psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung. Artikel yang disampaikan pada Dies Natalis Psikologi Universitas Padjadjaran Bandung, Agustus 2009

4 comments:

  1. saya ingin bertanya, apabila saya ingin mendapatkan paper engkap dari penelitian ibu ini, kira-kira saya bisa mengakses / mencari dimana ya bu? selain itu saya juga ingin tahu lebih jelas mengenai alat ukur resistance to change yang ibu gunakan dalam penelitian ini, seperti pengertian dari dimensi alat ukur, penjelasan dari keempat faktor dari alat ukur, pengujian reliabilitas dan validitasnya seperti apa? informasi tersebut saya butuhkan untuk keperluan skripsi saya, apakah kira-kira ibu dapat membantu untuk menjelaskannya ya bu?
    Terima Kasih banyak

    ReplyDelete
  2. Dear Ivana...
    mohon maaf baru balas.
    utk RTC, saya mengunakan theory dr Shaul Oreg dengan 4 dimensi. Saya akan kirimkan hasil riset saya ini ke ivanna. Boleh share email ivana.

    Salam
    Ayu

    ReplyDelete
  3. Dear Ivana...
    mohon maaf baru balas.
    utk RTC, saya mengunakan theory dr Shaul Oreg dengan 4 dimensi. Saya akan kirimkan hasil riset saya ini ke ivanna. Boleh share email ivana.

    Salam
    Ayu

    ReplyDelete
  4. Selamat siang Ibu :)
    Saya sangat tertarik dengan penelitian ini, karena kebetulan skripsi saya membahas tentang resistance to change dengan teori dari Oreg juga. Apa saya bisa mendapat paper ini secara lengkap Bu? Terimakasih sebelumnya. Email saya : raihanah.rajab@gmail.com

    ReplyDelete